Life is adventure. from Allah to Allah

Cerpen : Takdir Tak Pernah Berlari


Aku ingin menjadi suamimu Nusaibah.
Tak peduli bila terkesan mendadak. Tapi aku tak ingin lelaki lain mendahului melamar gadis baik hati sepertimu. Bagaimana denganmu nusaibah. sudikah?

Aku melipat kertas yang telah lusuh karena terlalu sering ku baca. Kertas Surat yang kukirimkan sebulan lalu. Namun dikembalikan lagi kepadaku. Karena alamat yang tertera di amplop tak ditemui  penerimanya.

***

Nusaibah
Gadis tomboy itu tinggal dua blok dari rumahku. Hobinya panjat pohon mangga depan rumahku! Ntah untuk mengambil buah mangga yang telah masak ataupun sembunyi dari omelan ayahnya. Tapi itu dulu. Sekarang dia tak lagi tinggal dua blok dari rumahku. Dan pohon mangganya? Sudah setahun ditebang.
Nusaibah
Dulu ia seringkali mampir ke rumah untuk mencicipi resep baru kue buatan Ibu sebelum kue itu dijual. Ibu seringkali berujar ia senang jika Nusaibah yang mencicip resep baru kue buatannya. dibandingkan aku, Bang Faris atau Bang Hamid. Ya memang kami tidak cukup diandalkan untuk mengomentari kue buatan ibu. Jawaban kami pasti sudah tentu enak tanpa ada embel-embel kurang tambahan ini, bentuknya kalau lucu seperti ini, atau sebagainya. Hanya Nusaibah yang berkomentar  seperti itu. Dan itu dulu.
            Nusaibah dan Sekeluarga Pindah saat ia dan aku duduk di bangku menengah pertama. Sejujurnya aku tak tau alasan mengapa ia dan keluarganya pindah. Yang ku tahu dari Nusaibah karena ayahnya menderita sakit. Hanya itu. Selebihnya aku tidak tahu dia pindah kemana.

***
            Aku hafal betul. Kala itu penghujung bulan Juli. Pertama kalinya bertemu lagi dengan sosok Nusaibah. Ia susah sekali untuk dikenali. Aku bahkan memastikan beberapa kali untuk meyakinkan kalau memang benar itu Nusaibah. Raut mukanya memang tak banyak berubah. Namun penampilannya kini sungguh jauh berbeda dengan yang dulu. Tidak ada celana jeans belel selutut dan kaos, juga gelang-gelang hitam yang melingkar di  tangannya. Tidak ada lagi rambut pendek sebahu yang diikat asal olehnya. Yang ada kini balutan gamis dan jilbab dengan warna senada.

“Bagimana kabarnya Nusaibah?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah baik. Mas Satria dan sekeluarga bagaimana kabarnya? Ibu masih berbisnis kue?”
“Alhamdulillah baik. Ibu masih berbisnis kue. Bagaimana mau mampir untuk mencicip?”
Nusaibah tertawa pelan. “Lain waktu kalau senggang Nusaibah kesana” timpalnya.
Sejak pertemuan itu. Aku mendapat sedikit informasi tentangnya lewat selingan percakapan singkat kami.
            Namanya Nusaibah Azzahra dulu ia tinggal dua blok dari rumahku. Tapi kini ia tinggal di Jogja. Mahasiswi tingkat akhir Jurusan Bahasa Indonesia. Ia pergi ke Solo dan kebetulan bertemu lagi denganku karena ingin menghadiri acara walimah pernikahan kakak sepupunya.

***
            Aku menjumpainya lagi dengan sosok Nusaibah kali ini di tepi jalan raya. Ia bersama teman-teman akhwatnya yang lain sedang melakukan sosialisasi tentang hukum menutup aurat dan membagikan hijab syar’i kepada para wanita yang melintasi jalan tersebut. Ditengah aksinya tersebut aku mendengar samar ia menyuarakan kalimat yang begitu takjim untuk aku dengar.

“Percayalah setiap wanita itu cantik. Dan cantikmu istimewa. Biarlah cantikmu hanya dipersembahkan untuk pasangan halalmu kelak.yakni Suamimu. Bukankah Allah pun juga berfirman dalam Surat An-Nur Ayat 31 dan Surat Al-Ahzab Ayat 59.”
Ah kini aku tau Nusaibah sedang berproses memperbaiki diri.

***
            Sejak mendapatkan pekerjaan sebagai guru di suatu pondok pesantren di Solo. Aku tenggelam dalam rutinitas pekerjaan. Kegigihanku dalam bekerja dibalas dengan perolehan karir yang cukup gemilang. Tapi rupanya ibu tak sebahagia itu. Ia selalu berujar bahwa akan bahagia jika aku segera berkeluarga.

“Ibu punya sahabat yang memiliki anak gadis Sat. Mau ibu kenalkan tidak? Dia cantik dan sholeha. Kurasa cocok dengan karaktermu” bah sekarang Ibu mulai menjodohkanku!
“Bu. Satria ingin memilih gadis pilihanku Bu” kataku tak berani menatap Ibu.
Mata teduh itu menatapku lekat-lekat ia mengelus lembut rambutku yang sedikit ikal.
“Jika telah yakin dengan gadis pilihanmu itu. Jangan ragu untuk memperkenalkan pada Ibu. Apa yang kau tunggu lagi Sat? Umur ibumu telah tua”

***
Aku hafal betul baris kata yang kutulis dalam selembar kertas berwarna biru.
Aku ingin menjadi suamimu nusaibah.
Tak peduli bila terkesan mendadak. Tapi aku tak ingin lelaki lain mendahului melamar gadis baik hati sepertimu. Bagaimana denganmu Nusaibah. sudikah?

Bismillahirahmanirrahim. Semoga kau sudi! Panjatku ketika memasukan kertas biru ke amplop yang akan kukirim.

Tepat Seminggu aku mengirim surat kepada Nusaibah. Tak ada surat balasan mengatas namakan Nusaibah. Ah sudahlah Mungkin dia tengah berpikir. Usahaku menepis kegundahan hati.

Dua minggu berlalu. Aku mulai khawatir. Bagaimana tidak? Tak ada surat balasan untukku. Illahi apa aku ditolaknya?

            Aku makin tenggelam dalam rutinitas pekerjaan. Mencoba melupakan kenangan dan melampiaskannya melalui kesibukanku. Hingga sampai suatu pagi aku terlonjak mendengar pengantar pos surat mencariku.

“Surat Bapak tertahan di kantor Pos kami Pak. Sudah dikirim ke alamat yang tertulis tapi tak ada yang bernama Nusaibah” katanya.
Ya Allah hampir sebulan.
“Alamatnya sudah betulkan Pak?” tanya pengirim pos membuyarkan lamunanku
“Sudah Pak. Itu alamat yang diberikan nusaibah kepada saya”
“Wah, Mungkin orangnya pindah pak” lagi katanya. Yang membuatku terpaku.
Ya Allah. Pindah lagi? Pindah kemana? Semoga ia tak pindah dan menetap disana lama. Semoga ia pergi kesuatu tempat dan lupa memberi kabar. Semoga...

***
            Hari berikutnya aku mendatangi alamat yamg diberikan Nusaibah dulu. Namun hasilnya nihil. Nusaibah memang telah pindah. Namun ada hal lain yang membuat hatiku gemuruh. perkataan Aliya tetangga nusaibah.

“Sebelum dia pindah ia memberitahuku kalau ia pindah ke rumah orangtua dan kakaknya karena Penyakit ayahnya sedang kambuh. Tapi Nusaibah juga bercerita jika dia akan dijodohkan dan aku nggak tahu siapa orangnya”

Mulutku membisu mendengar perkataan yang diucapkan Aliya. Aku tak upaya untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutku. Kekecewaanku kekesalanku hanya bisa kutelan sendiri. Ya Allah ini begitu menyesakkan. Andaikan aku mengirim surat jauh hari sebelum kepindahannya. Andaikan Nusaibah...

“Jangan terlalu bersedih Sat. Insya Allah wanita yang lebih sholehah dan lebih cantik dari Nusaibah itu banyak Sat” kata Paman menghiburku.
“Sudahlah Sat jangan malah menyakiti dirimu sendiri. “ Kata paman setelah ia menyaksikan kantong mataku semakin membesar. “Yakinilah bahwa ketentuan Allah itu baik.  Jika memang Nusaibah tidak menjadi pasangan hidupmu. Mungkin saja Allah telah menyiapkan pasangan yang jauh lebih baik untukmu. Berhuznudzan saja pada Allah. Karena yang menurutmu baik belum tentu menurut Allah itu baik untukmu”.
Ah, iya benar juga kata Paman. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 216. Bahwa “Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal itu amat baik bagimu. Dan boleh jadi(pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui

Aku begitu yakin terhadap ketentuanmu Ya Allah. Karena sesungguhnya Kaulah perencana yang hebat.

***

“Kamu ingat tidak gadis yang ibu ceritakan itu? Besok lusa dia datang berkunjung kesini Sat.”
“Apa bu? kenapa tidak bilang dulu kepadaku Bu?”
“Dia hanya berkunjung ke sini Sat. Silaturrahmi. Ibu hanya berusaha memilihkan calon terbaik kepadamu. Bukan memaksamu. Keputusannya ya ada di kalian berdua”
Aku menghela nafas. Kuiyakan saja permintaan Ibu untuk menyambut keluarga temannya yang akan datang lusa.

***
            Hari yang dinanti keluargaku akhirnya tiba. Segala hal telah dipersiapkan Ibu sejak kemarin. Piring-piring cantik dibersihkan hingga berkilap. Pekarangan rumah yang biasanya dipenuhi daun kering bersih karena disapu. toples kecil berisi kue buatan Ibu terjejer rapi di meja. Ya, Benar-benar sempurna!
“Kalau keluarganya datang senyum loh Sat. Sambut yang hangat” katanya sambil melirik keluar jendela.
            Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Sudah lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Ibu terlihat gelisah. Khawatir segala hal yang dipersiapkan sia-sia. Ku tenangkan ia dengan berkata bahwa  jika libur jalanan suka macet dipenuhi kendaraan yang akan berlibur ke luar kota.
            Suara deru mobil terdengar makin dekat dengan rumah kami. Akhirnya mobil berwarna hitam tersebut menepi di depan rumah. Ibu melonjak girang dan mengucap syukur. Ia menyuruh aku dan adikku keluar untuk menyambutnya.
            Aku yang sejak tadi merasa tenang. Sekarang justru merasa tegang. Kurasakan aliran darahku makin cepat dan detak jantungku makin tak karuan. Pasti raut gugup nampak di wajahku. Bagaimana tidak? Kini aku harus bertemu dengan gadis pilihan Ibu yang mungkin sama sekali aku belum kenal. Rabbi tenangkanlah  hatiku.
            Aku melihat lelaki dengan rambut sedikit beruban tengah duduk di kursi roda. Ia dibantu oleh seorang wanita yang ku tafsir seusia dengan lelaki itu. Ku tebak pasti ia istrinya.

“Maaf ya Bu, lama menunggu sudah lama tidak kemari sedikit lupa jalannya. Ternyata sudah banyak yang beda yaa”
“Oh ya tidak apa-apa. Ayo masuk ke dalam rumah pasti kalian lelah” pinta ibu dengan ramah
“Loh Bu. Kok Cuma berdua. Zahranya kemana kok ndak ikut?” tanya ibu lagi

            Wanita itu kemudian muncul dari belakang. Ia tersenyum dan melipatkan tangannya mengucap salam. Aku terlonjak kaget melihat sosok itu. Kini aku tahu siapa lelaki yang akan dijodohkan ayahnya kepada Nusaibah. Sekarang akupun tahu siapa wanita yang dipilihkan Ibu untukku.

Aku hafal betul sosok itu Nusaibah Azzahra.
Duh, Gusti Indah sekali rencanamu.
Nusaibahpun tak kalah kaget melihatku. Namun kemudian ia melontarkan senyum hangatnya yang tak pernah ku lihat setengah tahun terakhir.
Aku ingin menjadi suamimu nusaibah.
Nusaibah membacanya dengan tersipu
Tak peduli bila terkesan mendadak. Tapi aku tak ingin lelaki lain mendahului melamar gadis baik hati sepertimu. Bagaimana denganmu nusaibah. sudikah?
Wajahnya bersemu merah. Tak pernah ku lihat wajahnya semerah itu saat membaca kertas biru yang kutulis beberapa waktu lalu.
“Jadi, bagaimana denganmu Nusaibah sudikah?”
Ia terdiam sejenak. lalu kemudian membuka mulutnya untuk mengucapkan jawaban yang telah lama kunanti.
“Aku bersedia jadi istrimu”
Masya Allah. Ya, Nusaibah tak akan pernah pergi lagi. Ia kembali untukku atas nama takdir. 


*Cerpen yang telah lama disimpan didraft

-Arum Melati Suci

0 komentar:

Posting Komentar